PENTINGNYA KESADARAN ANTARBUDAYA DAN KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM DUNIA KERJA GLOBAL.
PENDAHULUAN
Globalisasi telah memberikan efek pada budaya dan perilaku manusia dalam berbagai setting dan konteks. Interaksi manusia dari berbagai belahan dunia saat ini sangatlah mudah dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat. Setiap detik selama 24 jam setiap hari manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain dari berbagai belahan dunia lain melalui media atau pertemuan langsung. Pertemuan antarbudaya semakin mudah dan sering serta semakin banyaknya orang-orang yang bepergian ke negara lain, apakah itu untuk urusan bisnis, pekerjaan, belajar atau liburan.
Pada era global dan era perdagangan bebas ini semakin banyak perusahaan-perusahaan multinasional di berbagai negara, juga perusahaan-perusahaan lokal yang mengembangkan bisnisnya ke negara-negara lain. Konsekuensi adalah semakin banyaknya keberadaan pekerja dan professional asing di suatu negara atau orang bekerja di negara lain. Jumlah tenaga kerja asing di berbagai perusahaan lokal maupun multinasional semakin hari semakin meningkat. Menurut Susumu Yoshida Managing Director Sumitomo Chemical Asia Pte.Ltd (2002), strategi perusahaan untuk merambah bisnis global bukanlah lagi sebuah pilihan tapi sebuah keharusan untuk dapat terus berlangsung hidup. Perusahaan terus-menerus membutuhkan kapital, sumber daya manusia, jasa, barang-barang dan informasi untuk dapat tetap tumbuh.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2012 jumlah tenaga kerja asing sebanyak 57.329 orang. Jumlah terbanyak berasal dari RRC sebanyak 12.835 orang kemudian disusul oleh Jepang, Korea Selatan, India dan Malaysia. Tenaga kerja asing yang berasal dari luar Asia, sebagian besar berasal dari Australia, USA, Inggris dan Perancis yang masing-masing sekitar 2000 orang. Jumlah ini menurun drastis dibandingkan jumlah pekerja asing pada tahun 2011 yang mencapai 118.000 orang (www.depnakertrans.go.id). Sedangkan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri mencapai 4 juta orang, apakah sebagai pekerja profesional, pelajar, TKI, TKW atau permanent residence. WNI ini paling banyak berada di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Korea, AS, Inggris, Jerman dan Australia (www.tribunnews.com).
Tenaga kerja asing yang berada di Indonesia sebagian besar berasal dari perusahaan-perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing). Ada juga yang bekerja pada perusahaan-perusahaan asing yang mengakuisi atau merger atau berafiliasi dengan perusahaan Indonesia. Keberadaan tenaga kerja asing di perusahaan asing atau perusahaan lokal bukan tanpa persoalan. Konflik antara buruh dengan pengusaha atau manajer asing beberapa kali terjadi. Demo buruh sangat kerap terjadi yang sampai mengakibatkan pull out nya beberapa perusahaan asing dari Indonesia karena merasa tidak aman.
Kecemburuan sosial, kesenjangan gaji dan fasilitas adalah salah satu akar masalah, walaupun awal munculnya konflik terbuka seringkali karena masalah komunikasi antarbudaya. Salah satu contohnya adalah kasus pada PT. Drydock World Graha di Batam. Berdasarkan berita di Kompas.com, konflik bermula dari umpatan seorang supervisor asal India yang mengatakan pekerja Indonesia “stupid”. Umpatan itu spontan menyulut emosi pekerja Indonesia lainnya. Perkelahian pun tak terhindarkan antara pekerja asing berdarah India dengan pekerja Indonesia —yang menurut mereka sudah sering mendapat hinaan serupa. “Kalau topi ini bisa ngomong, dia akan ngomong kalau tiap hari kita ini dimaki-maki bodoh dan sebutan lainnya,” ujar seorang karyawan Indonesia. Dampak dari umpatan ini adalah demonstrasi buruh dan aksi pembakaran terhadap berbagai fasilitas perusahaan. Puluhan tenaga kerja asing terpaksa dievakuasi dari Batam (www.kompas.com).
Konflik antarbudaya tidak bisa dianggap sepele. Bisa jadi berkata dan bertindak kasar merupakan hal biasa di suatu budaya tapi merupakan hal yang luar biasa dan penghinaan di budaya yang lain. Kegagalan komunikasi sehari-hari, kesalahpahaman karena faktor perbedaan bahasa, perbedaan latar belakang budaya, sikap perilaku eksklusif karena merasa ekspatriat dan sikap-sikap lain yang tidak sesuai dengan latar budaya lokal dapat menimbulkan prasangka serta sangat mungkin diakhiri dengan konflik terbuka yang berakibat fatal.
Dalam ranah global sendiri, dunia mengarah menjadi multicultural society, dimana setiap orang bisa saja berasal dari beberapa ras yang berbeda dan hidup pada beberapa konteks budaya (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010). Contohnya saja Presiden Barack Obama, ia lahir di Hawaii dimana penduduk asli Hawaii bukanlah orang kulit putih, ayahnya berasal dari Kenya, ibunya dari ras kulit putih, pernah tinggal di Indonesia bersama ayah tiri orang Indonesia, kemudian menetap di Hawaii bersama neneknya yang kulit putih.
Untuk konteks bisnis, banyak perubahan terjadi terutama sejak pesatnya perkembangan teknologi informasi. Transaksi bisnis dapat dilakukan dalam hitungan menit, pertukaran informasi dari berbagai belahan dunia terjadi setiap detik. Profesional dan pengusaha bisa kapan saja melakukan kontak dan melakukan perjalanan bisnis ke berbagai negara. Sayangnya, kemampuan dan ketrampilan berkomunikasi antarbudaya untuk kelancaran hubungan dan bisnis tidak semua disadari oleh para pelaku bisnis. Ditambah lagi sangat minimnya pelatihan komunikasi antarbudaya untuk mengatasi hambatan-hambatan antarbudaya. Banyak kegagalan transaksi bisnis terjadi hanya karena kegagalan dalam berkomunikasi antarbudaya.
Pelatihan untuk meningkatkan kompetensi berkomunikasi antarbudaya dan untuk meningkat kesadaran antarbudaya menjadi suatu keharusan bagi perusahaan-perusahaan global maupun lokal. Kurangnya kesadaran antarbudaya dan kurang cakapnya dalam berkomunikasi antarbudaya seringkali menciptakan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini dapat menimbulkan rasa tersinggung dan ketidakpercayaan dari kedua belah pihak. Bahkan kesalahpahaman dapat terjadi hanya karena perbedaan dalam gaya berkomunikasi (Yoshida, 2002).
Melalui tulisan ini, penulis bertujuan menunjukkan pentingnya kesadaran antarbudaya dan kemampuan berkomunikasi antarbudaya dengan efektif di era global ini.
METODOLOGI
Metode penulisan karya tulis ini adalah studi pustaka. Data dan informasi diperoleh dari data sekunder yang berasal dari buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan tema karya tulis ini. Sumber utama untuk tulisan ini adalah berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan yang tertuang dalam berbagai jurnal dan berbagai textbook Komunikasi Antarbudaya.
PEMBAHASAN
Memahami Keanekaragaman Budaya dan Kesadaran Antarbudaya
Perbedaan dan keanekaragaman adalah sesuatu yang alamiah. Setiap orang, setiap bangsa memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Walaupun dunia terasa seperti semakin menyempit dan semakin pudar batas-batas negara karena kemajuan teknologi, perbedaan dan keanekaragaman akan tetap ada. Banyak yang berpendapat globalisasi dapat menyeragamkan budaya-budaya yang ada dan tidak perlu lagi terlalu mengkhawatirkan perbedaan-perbedaan budaya yang ada, tapi penulis yakin perbedaan dan keanekaragaman budaya pasti akan tetap ada. Perbedaan dan keanekaragaman justru menambah semaraknya kehidupan serta merupakan kekayaan bangsa.
Siapapun yang berada dalam konteks bisnis internasional, bekerja pada perusahaan asing atau menjadi ekspatriat di suatu negara, ketika berinteraksi dengan orang asing pasti pernah mengalami tatapan mata yang menyiratkan ketidakpahaman, senyuman yang dipaksakan, gumaman komentar dalam bahasa yang tidak jelas akibat tidak dipahaminya kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya terkadang tanpa disadari, kita sendiri pernah membuat orang lain bingung dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah dan aksen berbicara kita.
Orang-orang dengan budaya yang berbeda memproses informasi dengan cara yang berbeda, menilai perlakuan secara berbeda dan mengukur konsep waktu dan ruang dalam pola yang berbeda pula. Ketidakpekaan atas perbedaan budaya bisa menjelma menjadi masalah bisnis yang serius (Mitchel, 2001).
Satu contoh dikisahkan oleh Mitchel (2001) tentang masalah bisnis yang serius yang dialami oleh Disneyland akibat ketidakpekaan budaya. Setelah sukses membuka Disneyland di Jepang, Disneyland akan membuat taman bermain ini di Perancis. Oleh karena merasa sudah membuat keberhasilan di Jepang – yang memiliki budaya yang sangat berbeda – Disneyland merasa tidak perlu mengubah sistem yang sudah dianggap berhasil untuk disesuaikan dengan orang Eropa. Masalah terjadi sejak awal pembelian lahan 1.950 hektar. Tanah yang dibeli adalah lahan pertanian utama dengan harga di bawah harga pasar. Para keluarga petani Perancis yang telah berabad-abad mengelola tanah tersebut marah dan menentang. Surat kabar Perancis mencela pengusaha Amerika dengan tulisan-tulisan yang penuh kemarahan dan hinaan bahwa Disneyland telah menyepelekan ikatan petani Perancis dengan tanah leluhurnya. Selanjutnya Disneyland semakin menyinggung perasaaan masyarakat Perancis dengan menggunakan pengacara untuk bernegosiasi kontrak-kontrak yang akan dilakukan. Di Perancis, pengacara adalah alat negosiasi terakhir, penggunaan pengacara menunjukkan ketidakpercayaan dan penolakan terhadap cara Perancis, seharusnya cukup para eksekutif Disneyland saja yang bernegosiasi. Masalah semakin rumit karena ketidakpedulian Disneyland akan kultur Eropa dan norma kerja Perancis. Disneyland menuntut karyawan-karyawannya berpenampilan gaya Amerika, akibatnya staf dan serikat buruh memberontak dan menuntut model pakaian sehari-hari Perancis. Moral kerja merosot. Selain hal-hal di atas, banyak sekali detil-detil budaya yang diabaikan Disneyland di Perancis. Biaya akibat ketidakpekaan perusahaan terhadap budaya menghabiskan uang dan goodwill yang sangat besar.
Ketidakpekaan dan pengabaian detil-detil budaya juga banyak dilakukan oleh para pelaku bisnis dan manajer global. Mereka cenderung menyamaratakan cara dan gaya untuk diterapkan pada budaya yang berbeda. Komentar-komentar seperti “Cara ini berhasil di negara saya, jadi dengan cara ini akan berhasil dimanapun,” “Saya tahu bagaimana menjual / membuat / mengelola bisnis ini dimanapun,” “Produk saya adalah yang terbaik, saya tidak perlu khawatir dengan perbedaan budaya” seringkali terdengar (Beamer dan Varner, 2008).
Sikap menganggap bahwa budaya kita adalah budaya yang terbaik dan budaya-budaya lain seharusnya mengikuti tata cara budaya kita dan dinilai berdasarkan standar budaya kita adalah sikap yang harus dihindari ketika kita berinteraksi dengan orang dari budaya yang berbeda. Sikap ini adalah bentuk dari ethnocentrism negatif (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010). Bila kita cenderung bersikap ethnocentrism negatif, akan menghambat keberhasilan dalam berkomunikasi antarbudaya.
Setiap budaya memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri. Lewis (2005) menyatakan “berbeda bahasa, berbeda dunia”. Lewis (2005) menunjukkan beberapa perbedaan unik dari beberapa bangsa, seperti :
“Bagi orang Jerman dan Finlandia, kebenaran adalah kebenaran. Di Jepang dan Inggris, kebenaran yang baik apabila kebenaran itu tidak mengganggu keselarasan. Di Cina tidak ada kebenaran mutlak. Di Italia, kebenaran bisa dirundingkan”.
“Orang Jepang tidak menyukai jabat tangan, tapi lebih menyukai membungkuk ketika menghormat orang lain dan tidak membersihkan hidung di muka umum. Orang Brazil terbiasa untuk tidak antre ketika naik bis, lebih menyukai sepatu warna coklat daripada hitam, dan datang terlambat dua jam pada pesta koktail. Orang Yunani menatap bola mata anda, menganggukkan kepalanya berarti ‘tidak’, dan ada kalanya membanting piring di restoran”.
Yoshida (2002) juga menyampaikan kisah tentang pertemuan bisnis antara delegasi Amerika Serikat dengan pejabat tinggi Jepang. Ia menyebutkan problem yang dihadapinya saat itu adalah “perception gap”. Diceritakannya, setelah delegasi Amerika selesai bertemu dengan pejabat tinggi Jepang, salah satu anggota delegasi bercerita pada seorang teman baiknya yang berkebangsaan Jepang tentang impresinya terhadap pertemuan itu.
“Delegasi Jepang menerima kami dengan sangat baik dan terlihat sangat menyimak apa yang kami katakan. Tapi setelah pertemuan itu, semua anggota delegasi kami menyatakan tidak dapat memahami dengan jelas hal-hal apa saja yang delegasi Jepang ingin lakukan. Kami juga merasakan suasana yang ‘dingin’ selama pertemuan dan akhirnya kami merasakan bahwa orang Jepang lebih sombong daripada sebelumnya”.
Keesokan paginya, surat kabar Tokyo mengutip pernyataan salah satu pejabat tinggi Jepang yang ikut serta dalam pertemuan, “kami sangat menghargai pertemuan yang telah dilakukan, kami berusaha sebagai pendengar yang baik daripada memaksakan pandangan kami pada mereka dan kami merasa delegasi Amerika menghargainya”.
Apa yang salah? Berbeda dengan persepsi delegasi Amerika, orang Jepang menganggap suasana ‘dingin’ yang dirasakan adalah sikap yang tepat dan baik. Dengan mereka diam dan menyimak artinya mereka serius merenungkan setiap permasalahan pada subyek yang sedang dibahas. Lagipula di Jepang terdapat filosofi ‘mereka yang banyak tahu tidak berbicara, dan yang tidak tahu apa-apa banyak berbicara’.
Dari dua peristiwa di atas, menunjukkan sangat pentingnya memahami dan mengenali perbedaan-perbedaan dari setiap budaya. Dengan memahami bahwa keanekaragaman budaya itu sangat luas dan mengagumkan, kita akan lebih terbuka menerima perbedaan yang ada dan membuka diri untuk mempelajari perbedaan-perbedaan yang ada. Konsep dan pemahaman tentang waktu, ruang, kehidupan setelah mati, alam dan realitas yang dimiliki masyarakat yang berlainan latar belakang budaya, sedikit banyak akan berdampak pada proses dan keberhasilan kita berkomunikasi dan berbisnis internasional.
Mengenali Budaya Lain
Budaya didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan, pengalaman, keyakinan/kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hierarki, agama, konsepsi waktu, peran, jarak, hubungan, konsep-konsep umum, obyek material dan milik dari sekelompok orang yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui individu dan kelompok (Samovar, Porter dan McDaniel, 2009)
Selanjutnya, Samovar, Porter dan McDaniel (2009) menyatakan, agar budaya dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, individu dan kelompok budaya harus mengkomunikasikan setiap aspek dari budaya. Oleh karena itu budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan dan menjalin suatu ikatan yang kuat. Budaya menentukan bagaimana cara kita berbicara, apa yang dibicarakan, kepada siapa pesan disampaikan, dalam kondisi yang bagaimana pesan disampaikan dan diterima, bagaimana pesan diinterpretasikan. Budaya sebagai dasar untuk berkomunikasi dan ketika budaya beraneka ragam maka cara berkomunikasi pun beraneka ragam.
Pakar budaya mengklasifikasikan budaya-budaya dari berbagai bangsa/negara. Pakar-pakar tersebut antara lain Gudykunts-Kim, Edward T. Hall-Mildred R. Hall dan Geert Hofstede. Klasifikasi yang dibuat oleh Edward T. Hall tertuang dalam 3 buku klasiknya yang masih relevan dan selalu dikutip oleh pakar-pakar komunikasi antarbudaya lainnya sampai saat ini. Buku-buku tersebut berjudul Dance of Life:The Other Dimensions of Time (1984), Hidden Differences (1990) dan Understanding Cultural Differences (1990). Ketiga buku ini menjelaskan dan mengklasifikasi budaya-budaya di dunia berdasarkan konsep waktu dan konteks budaya. Gudykunts-Kim membuat klasifikasi individualistic dan collectivistic culture, sedangkan Geert Hofstede mengidentifikasi dimensi-dimensi nilai dan mengukur derajat dimensi nilai tersebut pada lebih dari 50 negara di seluruh dunia. Hasil penelitiannya ini dituangkan dalam bukuCultures and Organizations (Hofstede dan Hofstede, 2005).
Hall dan Hall (1990) mengkategorikan berbagai kebudayaan mulai dari low-context cultures(LCC) sampai pada high-context culture (HCC). Pada high-context culture sebagian besar informasi dituangkan dalam konteks fisik atau diinternalisasikan di dalam orang-orang yang berinteraksi. Sangat sedikit informasi berupa pesan-pesan verbal dan lebih ahli dalam membaca lingkungan dan perilaku non-verbal. Orang-orang high-context culture mengharapkan orang lain dapat memahami komunikasi non-verbalnya. Jepang, Cina, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya merupakan high-context culture.
“Perception gap” yang terjadi pada kisah Susumu Yoshida di halaman sebelumnya, dikarenakan delegasi Jepang berasal dari HCC yang mengharapkan delegasi Amerika dapat memahami pesan non-verbal ‘dingin’ dan ‘bungkam’ nya sebagai bentuk penghargaan terhadap pendapat dan pemikiran delegasi Amerika. Sedangkan delegasi Amerika berasal dari LCC.
Pada low-context culture sebagian besar informasi berupa pesan-pesan verbal. Pesan verbal sangat penting karena masyarakat LCC cenderung tidak belajar bagaimana memperoleh informasi dari lingkungan. Ketidaksetujuan dan perbedaan pendapat harus diungkapkan secara verbal karena masyarakat LCC sulit untuk memahami pesan non-verbal. Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa Barat lainnya adalah low-context culture.
Selain mengkategorikan berbagai budaya menjadi LCC dan HCC, Hall dan Hall (1984, 1990) mengkategorikan waktu menjadi monochronic time (M-time) dan polychronic time (P-time). Hall mencirikan orang-orang monochronic time dan polychromic time, akan tetapi mereka meminta pencirian ini jangan diaplikasikan ke semua budaya, hanya untuk menolong menemukan pola.
Ciri orang M-time antara lain: berasal dari LCC, melakukan satu hal pada satu waktu dan sangat berkonsentrasi pada satu pekerjaan, menggunakan waktu berdasarkan komitmen (jadwal,dateline), membutuhkan informasi yang lengkap dan mendetil, terikat pada pekerjaan, ketat mengikuti rencana, sangat menghargai privacy.
Sedangkan orang-orang P-time bercirikan: berasal dari HCC, melakukan berbagai hal pada satu waktu sehingga hal dilakukan seringkali terinterupsi, terikat pada orang dan hubungan antar manusia, mudah dan seringkali berubah rencana, memiliki hubungan erat dengan keluarga dan teman.
Gudykunts dan Kim (2003) menyatakan bahwa negara-negara di Asia, Amerika Selatan termasuk ke dalam budaya kolektif, dimana kebersamaan dan ikatan keluarga dan kelompok sangat penting. Sedangkan negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara, masyarakatnya termasuk ke dalam budaya indivialistik.
Hofstede dan Hofstede (2005) melakukan survey pada karyawan IBM di semua perwakilannya di 74 negara untuk mengidentifikasi perbedaan sistem nilai di setiap negara (national values). Nilai-nilai yang diukur meliputi 4 dimensi, yaitu:
- Power Distance, berhubungan dengan social inequality termasuk hubungan dengan otoritas. Derajat yang dinilai dari kecil sampai besar. Semakin tinggi skor sebuah negara, semakin besar jarak kekuasaan di masyarakatnya.
- Collectivism versus individualism, berhubungan dengan konsep diri, hubungan yang terjalin antar individu dan individu dengan kelompok/masyarakat. Semakin tinggi skor sebuah negara, semakin individualistik masyarakat negara tersebut.
- Femininity versus masculinity, implikasi sosial dan emosional terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Semakin tinggi skor sebuah negara, semakin maskulin masyarakat negara tersebut.
- Uncertainty avoidance, cara-cara menghadapi ketidakpastian dan ambiguitas yang terwujud pada ekspresi emosi dan kontrol terhadap agresi. Derajat yang dinilai dari lemah sampai kuat. Semakin tinggi skor sebuah negara, semakin tinggi tingkat kecemasan dan semakin tidak bisa menerima ketidakpastian.
Di bawah ini adalah tabel keempat dimensi nilai hasil penelitian Hofstede. Dari keseluruhan 74 negara yang diteliti Hofstede, penulis hanya memilih negara-negara yang warga negaranya paling banyak bekerja di Indonesia dan negara-negara dimana banyak warga negara Indonesia bekerja dan tinggal di sana.
Pada negara yang menunjukkan skor power distance yang tinggi seperti Malaysia, jarak status dan kekuasaan atasan dan bawahan tinggi. Kekuasaan tersentralisasi dan dipegang oleh sedikit orang dengan struktur piramida hierarki yang tinggi. Bawahan harus selalu patuh pada perintah atasan dan atasan sangat dihormati. Atasan memperoleh berbagai fasilitas dan keistimewaan serta terdapat perbedaan gaji yang tinggi antara atasan bawahan. Sebaliknya negara yang menunjukkan skor power distance yang rendah seperti Jerman, hubungan atasan bawahan cenderung sederajat, sistem hierarki hanya untuk perbedaan peran/tugas. Organisasi cenderung desentralisasi dengan struktur piramida hierarki yang pendek. Atasan yang dihormati adalah atasan yang demokratis.
Masyarakat pada negara yang menunjukkan skor tinggi pada dimensi individualisticmenunjukkan karakteristik masyarakat low-context culture, berorientasi dan berpikir “saya” bukan “kami”, independen, menjunjung tinggi privacy dan kepemilikan individu, media sebagai sumber informasi utama, berkepribadian lebih extrovert dan didukung untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Sebaliknya masyarakat di negara collectivistic sangat berorientasi “kami”, sangat tergantung pada keluarga besar dan kelompoknya, harmoni diutamakan dan menghindari konfrontasi langsung, berbagi dengan keluarga atas sumber daya yang dimiliki,high-context culture, sangat menjaga nama baik keluarga dan kelompok, jaringan sosial adalah sumber informasi utama dan terpercaya, berkepribadian cenderung introvert.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar